Ekowisata atau ekoturisme merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan. Masyarakat lokal diharapkan terus memegang erat nilai-nilai budaya dan keasrian lingkungannya. Dan ini lah cerita tentang “Ada Secercah Cahaya Untuk Suku Boti di Timor Tengah Selatan”.
Salah satu dari masyarakat tersebut adalah, masyarakat Suku Boti. Suku Boti terdiri dari Suku Boti dalam dan Suku Boti luar. Perbedaan yang paling mencolok antara Boti dalam dan Boti luar adalah masyarakat Boti dalam sulit terkontaminasi dunia luar, padahal banyak sekali wisatawan yang mengunjungi Boti dalam untuk mempelajari masyarakat tsb. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu.

Sedikt informasi tambahan entang Suku Boti
Suku Boti
Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. Wilayah Boti terletak sekitar 40 km dari kota kabupaten Timor Tengah Selatan, So’e. Secara administratif kini menjadi desa Boti kecamatan Kie. Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, desa Boti seakan tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman. Suku ini memiliki bahasa Dawan sebagai bahasa daerahnya.
Agama
Suku Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka yang disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia.
Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari ada pembagian tugas yang jelas antara kaum lelaki dan perempuan. Para lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sementara urusan rumah tangga, diserahkan kepada kaum perempuan. Meskipun pembagian peran ini biasa dijumpai dalam sistem kekerabatan, ada satu hal yang membuat warga Boti agak berbeda, mereka menganut monogami atau hanya beristri satu. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang memotong rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan menggelungnya seperti konde.
Bila kepercayaan dan aturan adat Boti dilanggar, maka akan dikenakan sanksi, tidak akan diakui sebagai penganut kepercayaan Halaika, berarti harus keluar dari komunitas suku Boti, sebagaimana yang terjadi pada putra sulung Laka Benu, kakak dari Raja Usif Nama Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, memeluk agama Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti.

Akses menuju Suku Boti dalam cukup mudah untuk dijangkau dengan ojek motor atau sewa mobil, lama perjalanan kira-kira sekitar 5 jam. Namun perlu diingat medan yang dilalui adalah pegunungan,sehingga tidak selamanya berbentuk jalan beraspal, ada juga jalan berbatu, dan jalan yang rusak. Pertama sampai ke Suku Boti dalam, saya sangat terkejut, kebanyakan diantara mereka sudah lancar berbahasa Indonesia. Karena melihat beberapa referensi dan rekomendasi, kami setidaknya harus membawa pemandu sebagai ahli bahasa Dawan untuk kami. Namun untuk pergi ke Suku Boti hal ini tidak benar, karena di Suku Boti dalam mereka sudah lancar berbahasa Indonesia.

Sesampainya di rumah raja Suku Boti, yaitu Usif Nama Benu, Usif dalam bahasa Indonesia bermakna raja. Kami datang kepada beliau dengan memberikan sirih dan buah pinang kering kesukaan beliau dan kami diajak untuk menyirih bersama-sama. Setelah itu kami menyatakan maksud kedatangan kami ke Suku Boti dalam, yaitu memberikan panel surya untuk menyalakan listrik dan lampu di Suku Boti dalam, memasang bohlam yang dapat menyala di malam hari., serta memberikan edukasi kepada anak-anak yang ada di Suku Boti. Beliau pun menyetujui rencana kami dan kami diizinkan untuk melaksanakan misi kami untuk memberikan cahaya kepada Suku Boti.
Hari pertama kami melakukan ramah tamah dengan penduduk sekitar, menaruh barang-barang ke dalam penginapan tamu yang disediakan untuk kami, mencari titik yang tepat untuk penempatan panel surya, dan mempelajari budaya masyarakat sekitar. Ketika malam tiba, kami dipersilahkan untuk makan malam terlebih dahulu, karena papa raja memiliki nilai dan budaya yang unik, yaitu selama tamu belum selesai makan, papa raja dan masyarakat tidak boleh makan terlebih dahulu. Tamu harus didahulukan, tamu harus kenyang, barulah papa raja akan makan. Menurut kami kebijaksanaan, kerendahan hati, dan mau melayani sesamanya adalah nilai papa raja sangat yang patut dan perlu kita contoh. Ketika kami mengobrol pun serasa tidak ada batasan antara papa raja dan tamu-tamunya yang notabene orang biasa.

Malam semakin gelap, namun anehnya di Suku Boti dalam ini bintang semakin bersinar terang dengan jumlah yang sangat banyak. Ditambah dengan secangkir teh manis panas, menutup indahnya malam pertama di Suku Boti dalam.
Hari kedua, kami memasang panel surya di pagi hari, mengajar anak-anak SD dan SMP Suku Boti, mempelajari budaya tenun dan filosofi kehidupan di Suku Boti, dan yang terakhir kami memasang bohlam yang dapat menyala di malam hari yang kami beri nama Boti Glowing Forest.

Hari ketiga, kami melakukan perpisahan dengan Suku Boti dalam yang akan selalu kami kenang dalam hati kami. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seribu guru, Bapak Timus sebagai driver kami, dan terutama kepada papa raja, serta masyarakat Suku Boti dalam yang sudah menerima kami sebagai bagian dari keluarga mereka.

Kami ingin mengingatkan kepada teman-teman sekalian, Suku Boti hanyalah satu dari puluhan suku-suku lain di penjuru Indonesia yang membutuhkan pertolongan kita. Maka dari itu, sebagai pemuda-pemudi harapan Bangsa Indonesia, kita harus berjanji agar membantu mereka saudara-saudara kita dengan sekuat tenaga dan semampu yang kita bisa. Karena kalau bukan kita, lantas siapa lagi? Dan kalau bukan dari sekarang, kapan lagi?

Tertanda, lima mahasiswa yang memiliki hati untuk membangun negeri ibu pertiwi.
Andhika Priotomo dari Universitas Indonesia
Audy Fathia dari Institut Pertanian Bogor
Bobby Tandanajaya dari Universitas Kristen Maranatha
Nanda Puji Nugroho dari Institut Teknologi Sepuluh November
Sarah Lucia dari Universitas Parahyangan
Follow Penulis di instagram @bobbytandanajaya