Bangunan Candi Mendut memang tak sebesar Candi Borobudur. Tapi di balik kesederhanaannya, candi ini ternyata memiliki peranan penting di kalangan umat Buddha. Popularitas Candi Mendut pun tak begitu menjulang seperti candi Buddha lainnya, Borobudur, meski lokasi keduanya cukup berdekatan. Walau begitu, candi yang diprediksi dibangun pada tahun 824 masehi ini tetap mampu menyihir wisatawan untuk mengagumi keindahan arsitekturnya.
Candi yang terbentuk dari batu andesit dengan luas keseluruhan 13,7 x 13,7 meter ini berbentuk segiempat dan atap bertingkatnya dihiasi stupa kecil. Tingginya mencapai 26,4 meter dan berdiri di atas kaki setinggi 3,7 meter membuat Candi Mendut tampak anggun dan megah dari kejauhan.
Lokasi Candi Mendut
Bagi pelancong yang berminat mengagumi keanggunan Candi Mendut, tidak sulit menemukan bangunan yang menghadap ke arah barat ini. Lokasinya sangat strategis, karena terletak di tengah kota. Jika kamu dari Yogyakarta menuju ke Candi Borobudur, hampir dipastikan akan melewati Candi Mendut di tengah perjalanan. Soalnya, candi ini terletak cukup dekat dari Candi Borobudur, hanya berjarak 3 km, persisnya di Desa Mendut, Kecamatan Mungkit, Kabupaten Magelang.
Karena posisinya yang mudah dijangkau, candi Buddha yang dibangun lebih dulu dari Candi Pawon dan Candi Borobudur ini kerap didatangi pengunjung, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Bahkan tak jarang, anak-anak sekolah berkunjung ke candi ini sebagai bagian dari study tour.
Sejarah penemuan Candi Mendut
Belum ada informasi akurat terkait pembangunan Candi Mendut ini. Namun berdasarkan penemuan Prasasti Kayumwungan di Karang Tengah oleh arkeolog asal Belanda JG de Casparis, candi ini dibangun pada tahun 824 Masehi oleh Raja Indra dari Dinasti Syailendra.
foto : wikipedia
Proses pembenahan Candi Mendut sejak ditemukan hingga dapat dinikmati para pelancong seperti sekarang membutuhkan waktu yang panjang. Saat ditemukan pada pada 1836, candi dalam kondisi terkubur dalam tanah. Sayang, ketika itu tidak ada bagian atap candi sementara bagian lainnya ditemukan secara utuh.
Lalu dilakukan pemugaran pertama oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1897 hingga 1904. Pada proses pemugaran ini dilakukan rekonstruksi bangunan candi, termasuk bagian atap yang hilang. Namun saat itu pemerintah merasa hasil pemugaran masih belum sempurna.
Selang empat tahun kemudian, dengan dipimpin Theodoor van Erp dimulailah pemugaran untuk kali kedua, yang fokus pada penyempurnaan atap candi dan memasang kembali stupa-stupa kecil. Tapi karena dana yang dimiliki terbatas ketika itu, proses pembenahan sempat mandek meski akhirnya dilanjutkan kembali pada 1925 hingga rampung.
Kini traveler sudah bisa menikmati kemegahan Candi Mendut. Di bagian kaki candi, kamu bisa menemukan sejumlah panel relief yang berisi cerita berbagai kisah. Seperti burung dan kura-kura, Brahmana dan kepiting atau fabel lainnya. Relief yang menggambarkan kisah jataka bukanlah cerita untuk anak-anak seperti kelihatannya, melainkan berisi pesan moral kepada para pengunjung.
Selesai memandangi relief, traveler kembali disuguhkan delapan relief Bodhisattva dengan berbagai sikap dan ukuran. Uniknya lagi, ukuran panel relief ini masih lebih besar dibandingkan yang dimiliki Candi Borobudur.
Lalu masuklah ke bagian bilik candi, di mana bermukim tiga arca Budha berukuran besar dengan sikap tangan berbeda dan masih terawat dengan baik hingga sekarang. Arca pertama adalah Bodhisattva Vajravani, lalu ada Budha Sakyamuni dengan posisi duduk sila dan tangan memutar roda dharma, lalu terakhir Bodhisattva Avalokitesvara yang memegang bunga teratai dan diletakkan di atas tangan. Ketiga arca Budha tersebut tampak gagah dan dipercantik dengan rangkaian bunga segar yang diletakkan di bagian depannya.
Keunikan Candi Mendut tidak hanya terletak dari bangunan candi itu sendiri. Terdapat sebuah pohon Bodhi besar dan rindang yang tumbuh kokoh di halaman candi. Umat Budha meyakini pohon ini menjadi tempat saat Siddharta Gautama mencapai penerangan sempurna.
Keberadaan kompleks vihara yang berada di sebelahnya menambah kekentalan nuansa Budha. Tak hanya dijadikan tempat ibadah, Vihara Budha Mendut juga dijadikan tempat berkumpul dan belajar para biksu.
Upacara Waisak Candi Mendut
Sebagai candi yang memiliki peranan penting, Candi Mendut termasuk salah satu yang wajib dikunjungi wisatawan, terutama saat perayaan upacara Waisak.
Candi Mendut terletak dalam di posisi paling timur garis lurus utara ke selatan dari tiga rangkaian candi di kawasan Mungkid, yaitu Borobudur, Pawon dan Mendut. Rangkaian upacara Waisak, yang dirayakan pada bulan purnama di bulan Mei, pun selalu dimulai dari Candi Mendut sebelum akhirnya menjalani prosesi akhir di Borobudur.
foto : vivanews.com
Ada tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gautama Siddharta yang diperingati dalam hari raya Waisak, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tri Suci Waisak:
Pertama adalah untuk memperingati kelahiran Pangeran Siddharta di Taman Lumbini tahun 623 sebelum masehi. Lalu yang kedua hari di mana Pangeran Siddharta diangkat menjadi Buddha di Bodhgaya pada usia 35, tahun 588 sebelum masehi. Peristiwa penting terakhir yang diperingati dalam perayaan Waisak adalah hari meninggalnya Buddha Gautama di Kusinara pada tahun 543 sebelum masehi di usianya yang ke-80.
Rangkaian upacara Waisak telah dimulai beberapa hari sebelum puncak yang ditandai dengan pengambilan air dari beberapa sumber mata air murni di Temanggung. Air suci ini kemudian ditaruh dalam 10.000 botol dan 70 kendi yang disimpan di Candi Mendut. Penggunaan air dalam upacara Waisak menjadi lambang untuk mengalirkan kebaikan.
Di hari selanjutnya, dilanjutkan dengan menyalakan obor waisak di mana apinya diambil dari api abadi di Gunung Mrapen. Sama seperti air suci, api ini pun disimpan terlebih dulu di Candi Mendut. Penggunaan api dalam perayaan Waisak sebagai perlambang cahaya yang dapat membawa terang atau cahaya pengetahuan dalam kehidupan.
Pada malam hari acara dilanjutkan dengan ritual berdoa para pemuka agama Buddha di Candi Mendut yang berlangsung sampai keesokan hari. Sebelum puncak perayaan dilakukan ritual pindapatta, yaitu ritual dimana para biarawan menerima makanan dari jemaat Budha. Pada bagian ini para jemaat dengan sukarela mengisi mangkuk yang dibawa biarawan Buddha yang berjalan sambil menundukkan kepala. Makna di balik ritual ini adalah tindakan memberi dan menerima serta melatih hidup sederhana dan menghargai pemberian orang lain.
Lalu tibalah di acara yang paling ditunggu-tunggu, biksu dan jemaat Budha berkumpul di Candi Mendut sebelum melakukan arak-arakan dengan berjalan kaki menuju Candi Borobudur. Dalam perjalanan tersebut mereka akan melewati Candi Pawon, Sungai Elo dan Sungai Progo sebelum tiba di tempat pelaksanaan upacara puncak, Candi Borobudur. Tak lupa pula air suci serta obor yang disiapkan sebelumnya turut dibawa. Ribuan lampion dilepaskan ke langit sebagai lambang pencerahan alam semesta sekaligus menjadi penanda berakhirnya rangkaian upacara Waisak.
Oya, bagi traveler yang berniat menyaksikan proses upacara Waisak disarankan tidak mengambil gambar dari jarak dekat yang bisa mengganggu kekhusyukan ibadah mereka ya!
Sumber : pegipegi.com
Penulis : Riwi Rahayu
Post Editor : Berjalanjalan
Foto : Wikipedia, Vivanews